Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Desember 2011

APA KABAR WARGA TIONGHOA KHUSUSNYA MENGENAI PEMBAURAN?

Apa kabar semua? Pada saat ini saya akan menulis  mengenai pembauran tionghoa di Indonesia. Seperti anda ketahui orang tionghoa  dengan orang pribumi di indonesia lebih mirip dengan pembauran orang kulit hitam dengan kulit putih di USA, walaupun perbedaannya orang kulit hitam itu si miskin yang tertindas oleh orang kulit putih dikarenakan warna mereka yang menggambarkan setan, jorok. Di Indonesia ada anggapan bahwa munculnya ketegangan mereka disebabkan kecurigaan pribumi dengan non pribumi, tetapi ada anggapan yang umumnya mengatakan bahwa mereka itu pelit, licik, penjilat pada yang punya uang, membatasi diri. Padahal tidak semua seperti itu, bahkan ada nonpri sendiri mempunyai sikap membatasi diri.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh BKMC (Badan Koordinasi Masalah Cina), badan yang berada dibawah naungan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara), pada tahun 1974 Memberikan gambaran seperti itu. Penelitian yang bertajuk Sikap WNI Keturunan Cina terhadap Pembauran tersebut mengambil sampel empat kota, Jakarta, Semarang, Medan dan Pontianak.

Hasil penelitian ternyata memiliki sikap yang menolak pembauran dengan pribumi. Meskipun penelitian tersebut dilakukan pada tahun tersebut, menurut almarhum Sartono mukadis yang menjadi anggota tim penelitian tersebut, hal itu masih relevan sampai sekarang, bahkan mereka semakin lebih eksklusif. Misalnya dengan melanjutkan studi di Amerika atau dengan mendirkan sekolah khusus warga keturunan. 

SARTONO MUKADIS


Lalu solusi apa yang harus dilakukan setelah era reformasi berjalan selama 13 tahun ini? Dalam studi mengenai pembauran, Charles S. Coppel dalam bukunya, Indonesian Chines in Crisis (Oxford University Press, 1983), memaparkan empat pendekatan yang dilakukan tokoh – tokoh WNI keturunan Cina sendiri. 


Siauw Giok Tjhan

Pendekatan pertama adalah yang dilakukan Siauw Giok Tjhan pada tahun 1960–an (see at http://id.wikipedia.org/wiki/Siauw_Giok_Tjhan) konsep pembauran  melalui pendekatan politis yaitu dengan pembentukan “Masyarakat Sosialis Indonesia”. Pendekatan kedua dikemukakan oleh anggota Baperki lainnya yang lebih demokrat, Yap Thiam Hien, dia mengatakan bahwa dengan melakukan eliminasi prasangka dan jaminan hak – hak asasi manusia (see at http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien)


Yap Thiam Hien


Pendekatan ketiga adalah apa yang dikemukakan Sindhunata ( See at http://id.wikipedia.org/wiki/Kristoforus_Sindhunata), tokoh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa  ( Cikal bakal  Bakom  PKB) yaitu melalui asimilasi dan pernikahan.

Kristoforus Sindhunata

Sedangkan pendekatan keempat adalah dengan pemelukan agama mayoritas pribumi, Islam, hal ini dikemukakan oleh Junus yahya ( See at http://cabiklunik.blogspot.com/2009/08/sosok-junus-jahja-dan-semangat.html, http://id.wikipedia.org/wiki/Junus_Jahja)

Junus Jahja

beliau mengatakan dengan pemelukan agama islam maka proses pembauran akan berlangsung dengan cepat. Mereka akan langsung menjadi “indonesia”, sementara citra “cina” otomatis lenyap. Saya jadi ingat dengan buku yang saya baca ( Laksamana Cheng Ho) mengenai Muslim persia yang berasimilasi dengan orang pribumi di Cina sejak jaman Dinasti tang. Suku Hui yang aslinya keturunan persia sekarang lebih cina dibandingkan dengan suku uighur. Mereka telah terinisiasi dan memadukan unsur sunni dan filsafat kong hu cu, serta menikah dengan orang asli cina dari suku han.

Tapi ada yang unik di Indonesia yang saya alami sampai sekarang, saya adalah lampung asli (biasanya mereka adalah melayu pribumi berwajah sipit), setiap tempat yang saya tuju, atau berbicara dengan orang yang belum saya kenal, mereka mengira bahwa saya ini adalah keturunan tionghoa. Walaupun kadang saya merasa sebal dengan stereotip seperti itu, bahkan lebih parahnya lagi ayah saya pernah hampir dikeroyok pada saat huru – hara pada tahun 1966 saat pergantian kekuasaan dengan almarhum presiden Suharto. Mereka mengira bahwa ayah saya adalah orang cina. Saya juga mempunyai pengalaman (pada waktu saya masih sekolah) sering diperlakukan tidak semestinya di jalanan (apakah itu dipalak, atau diperas). Di Indonesia mempunyai sterotip bahwa kalau anda sipit berarti Tionghoa.  Aduh....sampai kapan ya hal ini berlangsung..., pribumi sipit seperti Suku lampung, palembang, jambi, bengkulu, dayak kenyah, manado pasti merasakan hal seperti itu apalagi mereka berkunjung pertama kali ke pulau jawa khususnya jakarta. Saya ingat waktu almarhumah nenek saya meninggal, ada tetangga saya yang keturunan Tionghoa di jakarta yang cukup berada yang membantu keluarga saya saat nenek saya meninggal. Beliau mengorbankan sebagian rumah dan listriknya. Mereka orang tionghoa mempunyai tradisi yaitu “kalau kita kenal mereka setelah bertahun – tahun mereka akan loyal pada kita”, kenapa saya berkata begitu?  Saya punya pengalaman belanja di toko glodok di jakarta, setelah bertahun – tahun lamanya belanja, bertegur sapa dan mengobrol, mereka lebih mengutamakan kekeluargaan daripada bisnis. Asumsi saya mereka juga menggunakan unsur "tak kenal maka tak sayang" yang biasa digunakan oleh orang pribumi. Jadi  apa ya bedanya mereka sama kita? 

(terima kasih pada buku dengan judul  "Etnis Cina, dalam potret pembauran di Indonesia", dengan pengarang Abdul Baqir Zein, Prestasi Insan Indonesia, tentunya ditambah dengan pengalaman penulis blog) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar