Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Desember 2011

APA KABAR WARGA TIONGHOA KHUSUSNYA MENGENAI PEMBAURAN?

Apa kabar semua? Pada saat ini saya akan menulis  mengenai pembauran tionghoa di Indonesia. Seperti anda ketahui orang tionghoa  dengan orang pribumi di indonesia lebih mirip dengan pembauran orang kulit hitam dengan kulit putih di USA, walaupun perbedaannya orang kulit hitam itu si miskin yang tertindas oleh orang kulit putih dikarenakan warna mereka yang menggambarkan setan, jorok. Di Indonesia ada anggapan bahwa munculnya ketegangan mereka disebabkan kecurigaan pribumi dengan non pribumi, tetapi ada anggapan yang umumnya mengatakan bahwa mereka itu pelit, licik, penjilat pada yang punya uang, membatasi diri. Padahal tidak semua seperti itu, bahkan ada nonpri sendiri mempunyai sikap membatasi diri.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh BKMC (Badan Koordinasi Masalah Cina), badan yang berada dibawah naungan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara), pada tahun 1974 Memberikan gambaran seperti itu. Penelitian yang bertajuk Sikap WNI Keturunan Cina terhadap Pembauran tersebut mengambil sampel empat kota, Jakarta, Semarang, Medan dan Pontianak.

Hasil penelitian ternyata memiliki sikap yang menolak pembauran dengan pribumi. Meskipun penelitian tersebut dilakukan pada tahun tersebut, menurut almarhum Sartono mukadis yang menjadi anggota tim penelitian tersebut, hal itu masih relevan sampai sekarang, bahkan mereka semakin lebih eksklusif. Misalnya dengan melanjutkan studi di Amerika atau dengan mendirkan sekolah khusus warga keturunan. 

SARTONO MUKADIS


Lalu solusi apa yang harus dilakukan setelah era reformasi berjalan selama 13 tahun ini? Dalam studi mengenai pembauran, Charles S. Coppel dalam bukunya, Indonesian Chines in Crisis (Oxford University Press, 1983), memaparkan empat pendekatan yang dilakukan tokoh – tokoh WNI keturunan Cina sendiri. 


Siauw Giok Tjhan

Pendekatan pertama adalah yang dilakukan Siauw Giok Tjhan pada tahun 1960–an (see at http://id.wikipedia.org/wiki/Siauw_Giok_Tjhan) konsep pembauran  melalui pendekatan politis yaitu dengan pembentukan “Masyarakat Sosialis Indonesia”. Pendekatan kedua dikemukakan oleh anggota Baperki lainnya yang lebih demokrat, Yap Thiam Hien, dia mengatakan bahwa dengan melakukan eliminasi prasangka dan jaminan hak – hak asasi manusia (see at http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien)


Yap Thiam Hien


Pendekatan ketiga adalah apa yang dikemukakan Sindhunata ( See at http://id.wikipedia.org/wiki/Kristoforus_Sindhunata), tokoh Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa  ( Cikal bakal  Bakom  PKB) yaitu melalui asimilasi dan pernikahan.

Kristoforus Sindhunata

Sedangkan pendekatan keempat adalah dengan pemelukan agama mayoritas pribumi, Islam, hal ini dikemukakan oleh Junus yahya ( See at http://cabiklunik.blogspot.com/2009/08/sosok-junus-jahja-dan-semangat.html, http://id.wikipedia.org/wiki/Junus_Jahja)

Junus Jahja

beliau mengatakan dengan pemelukan agama islam maka proses pembauran akan berlangsung dengan cepat. Mereka akan langsung menjadi “indonesia”, sementara citra “cina” otomatis lenyap. Saya jadi ingat dengan buku yang saya baca ( Laksamana Cheng Ho) mengenai Muslim persia yang berasimilasi dengan orang pribumi di Cina sejak jaman Dinasti tang. Suku Hui yang aslinya keturunan persia sekarang lebih cina dibandingkan dengan suku uighur. Mereka telah terinisiasi dan memadukan unsur sunni dan filsafat kong hu cu, serta menikah dengan orang asli cina dari suku han.

Tapi ada yang unik di Indonesia yang saya alami sampai sekarang, saya adalah lampung asli (biasanya mereka adalah melayu pribumi berwajah sipit), setiap tempat yang saya tuju, atau berbicara dengan orang yang belum saya kenal, mereka mengira bahwa saya ini adalah keturunan tionghoa. Walaupun kadang saya merasa sebal dengan stereotip seperti itu, bahkan lebih parahnya lagi ayah saya pernah hampir dikeroyok pada saat huru – hara pada tahun 1966 saat pergantian kekuasaan dengan almarhum presiden Suharto. Mereka mengira bahwa ayah saya adalah orang cina. Saya juga mempunyai pengalaman (pada waktu saya masih sekolah) sering diperlakukan tidak semestinya di jalanan (apakah itu dipalak, atau diperas). Di Indonesia mempunyai sterotip bahwa kalau anda sipit berarti Tionghoa.  Aduh....sampai kapan ya hal ini berlangsung..., pribumi sipit seperti Suku lampung, palembang, jambi, bengkulu, dayak kenyah, manado pasti merasakan hal seperti itu apalagi mereka berkunjung pertama kali ke pulau jawa khususnya jakarta. Saya ingat waktu almarhumah nenek saya meninggal, ada tetangga saya yang keturunan Tionghoa di jakarta yang cukup berada yang membantu keluarga saya saat nenek saya meninggal. Beliau mengorbankan sebagian rumah dan listriknya. Mereka orang tionghoa mempunyai tradisi yaitu “kalau kita kenal mereka setelah bertahun – tahun mereka akan loyal pada kita”, kenapa saya berkata begitu?  Saya punya pengalaman belanja di toko glodok di jakarta, setelah bertahun – tahun lamanya belanja, bertegur sapa dan mengobrol, mereka lebih mengutamakan kekeluargaan daripada bisnis. Asumsi saya mereka juga menggunakan unsur "tak kenal maka tak sayang" yang biasa digunakan oleh orang pribumi. Jadi  apa ya bedanya mereka sama kita? 

(terima kasih pada buku dengan judul  "Etnis Cina, dalam potret pembauran di Indonesia", dengan pengarang Abdul Baqir Zein, Prestasi Insan Indonesia, tentunya ditambah dengan pengalaman penulis blog) 

Kamis, 22 Desember 2011

Serabi santan Eropa dimodifikasi dengan gandum, madu dan Nanas (modify Europe Coconut milk, Wheat pancakes with honey and pineapple)

Sebelum kita melihat menu tersebut, serabi adalah warisan dari penjajahan belanda, dahulu dan juga sekarang, serabi tradisional indonesia, pada biasanya hanya terdiri dari kelapa, nangka, durian dan taburan coklat, tapi sekarang saya akan memodifikasinya, terima kasih kepada koran koki, (saya telah memodifikasinya), dan telah saya coba di dapur

Serabi Gandum untuk 2 orang
1 / 2 cangkir Tepung gandum
1 / 3 cangkir tepung biasa
2 sendok makan dan 2 sendok teh bibit gandum atau oatmeal kalengan 
3 / 4 sdt baking powder
1 / 4 sdt baking soda
1 sendok makan gula merah
 garam secukupnya
2 sendok makan dan 2 sendok teh mentega tawar
1-1/4 cangkir buttermilk
1 / 3 gelas santan kualitas baik (santan kental) 
1 butir telur, kocok
1 sendok makan dan 1-1/2 sendok teh mentega tawar

Edible garnish (hiasan yang bisa dimakan)
150 ml madu 
 5 gram kacang mede
 50 gram gula halus
1/2 buah nanas (anda bisa menggunakan buah lainnya)



Dalam food processor atau dalam mangkuk besar, gabungkan tepung gandum, tepung putih, bibit gandum, baking powder, baking soda, gula merah, dan garam.
Potong mentega menjadi potongan kecil dengan pisau, dan tambahkan mentega ke dalam campuran tepung. Aduk sampai campuran menjadi seperti pasir.
Buatlah sebuah lobang di tengah campuran tepung-mentega, dan tambahkan buttermilk, telur, dan santan. Aduk sampai cairan sepenuhnya dimasukkan.
Panaskan wajan dengan api sedang dan minyak permukaan dengan 1 sendok makan mentega atau minyak. Sendok sayur adonan ke permukaan untuk membentuk serabi 4 inci. Setelah mengembang pada bagian atas serabi, balikkan, dan masak pada sisi lainnya selama sekitar 2 menit.
kita haluskan kacang mede dengan blender, setelah itu kita cincang kasar nanas,  lalu taburkan diatasnya dengan madu, nanas, kacang mede, dan gula halus, selamat menikmati




Traditional pancake 

Dutch Indies street vendor selling chicken satay, Traditional pancake seller use to sale like this

(English Translation)
Before we look at the menu, the pancake is a legacy from Dutch colonialism, for the past and present, Indonesia traditional pancake, usually only consists of coconut, jackfruit , durian and chocolate sprinkles , but now I will make a modification, thanks to the Koki newspaper, (I already modify the menu), and I already try it in the kitchen



Wheat Pancake 
1/2 cup whole wheat flour
1/3 cup all-purpose flour
2 tablespoons and 2 teaspoons wheat germ or canned oatmeal
3/4 teaspoon baking powder
1/4 teaspoon baking soda
1 tablespoon brown sugar
 salt (but not to much)
2 tablespoons and 2 teaspoons unsalted butter
1-1/4 cups buttermilk
1/3 cup good-quality coconut milk (thick coconut milk)
1 eggs, beaten
1 tablespoon and 1-1/2 teaspoons unsalted butter

Edible garnish
150 ml of honey
5 grams of cashew nuts
50 grams of refined sugar
1/2 of Pineapple (you can use any fruit)


In a food processor or in a large bowl, combine the whole wheat flour, white flour, wheat germ or oats, baking powder, baking soda, brown sugar, and salt.
Cut the butter into small pieces with a knife, and add the butter to the flour-mixture. Mix until the mixture has a sand-like consistency.
Make a well in the center of the flour-butter mixture, and add the buttermilk, eggs, and coconut milk. Stir until the liquids are fully incorporated.
Heat a frying pan over medium heat and grease the surface with 1 tablespoon of butter or oil. Ladle the batter onto the surface to form 4 inch pancakes. Once bubbles form on the top of the pancakes, flip them over, and cook them on the other side for about 2 minutes.
we puree cashews in a blender, after that we minched the pineapple, sprinkle on the top with honey, pineapple, cashews, and refined sugar. Enjoy it


Modify Pancake



Minggu, 18 Desember 2011

Serdadu Afrika di Hindia Belanda (1831 - 1945) oleh Ineke van knessel / African soldiers in the Dutch East Indies (1831 - 1945) by Ineke van knessel

Pada saat saya membaca buku ini, dengan judul diatas, bahwa ada serdadu Afrika yang ditugaskan di indonesia. Buku itu sungguh sangat menarik walaupun belum semuanya saya baca. Saya akan rangkum sedikit demi sedikit. Di dalam buku tersebut tertulis bahwa sang penulis pada tahun 1977 menemukan (pada saat kuliah) bahwa Ghana telah berabad - abad telah menjalin  pertukaran ekonomi dan budaya. Dikisahkan bahwa kerajaan tersebut bernama Ashanti. Mereka pula beranak - pinak dengan orang Indonesia. Oleh karena itu saya asumsikan kenapa para pemain sepak bola Belanda yang keturunan Indonesia cenderung punya wajah lebih Afrika (sebagai contoh Patrick kluivert). Di buku itu tertulis bahwa di Belanda, mereka yang keturunan Afrika - Indonesia (khususnya dari serdadu Afrika yang menikah dengan orang indonesia) setiap dua tahun sekali mengadakan reuni. Buku ini juga hasil kerjasama dengan African Studies Centre (ASC) di Leiden (Belanda), Arsip Nasional Jakarta, dan Komunitas Bambu. Pada tahun 2003, penulis buku ini mengunjungi museum Elmina - Java di Ghana, sebagai masukkan untuk buku tersebut.  


Mereka di Belanda dinamakan Zwarte Hollanders / Belanda Hitam. Bermula pada saat itu Raja Willem I (1836) (see at http://en.wikipedia.org/wiki/William_I_of_the_Netherlands) 


 RAJA WILLEM I (KING William/Willem I First Dutch King)


Peta Kekuasaan Kerajaan Ashanti (Map of the Ashanti Kingdom)

Asantihene Prempeh I (Ashantihene /Raja semua Ashanti (King of all Ashanti))

Arsitektur Ashanti sebelum dijajah (Ashanti Architecture before colonized)

Bendera Kerajaan Ashanti ( Ashanti Flag)


memerintahkan Mayor Jenderal Jan Verveer berangkat menuju ibukota kerajaan Ashanti (Ghana dulu bernama Elmina) (see at http://en.wikipedia.org/wiki/Ashanti_Empire)  yang sangat berkuasa di Kumasi, untuk mengadakan pejanjian dengan raja mereka, untuk dijadikan serdadu tentara kolonial. Pangeran mereka dan keponakannya (Kwasi Boakye & Kwame Poku), diserahkan sebagai jaminan dalam kontrak untuk mengenyam pendidikan Eropa di Belanda. Sang Pangeran menghabiskan hidup di Belanda dan menjadi Insinyur pertambangan, dan kemungkinan besar tidak pernah bertemu dengan serdadu Afrika di Hindia Belanda. 

Pada tahun 1831 - 1872 Belanda merekrut sekitar 3.085 pria di Afrika barat (yang awalnya adalah budak belian yang dibebaskan) untuk menjalankan dinas militer di Hindia Belanda (sebagian besar dari Ghana & Burkina Faso). Mereka ditempatkan di Ekspedisi kolonial di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Timor. Salah satu sejarah juga merekam bahwa mereka ditempatkan juga di Aceh, salah satu peperangan paling berdarah KNIL. Banyak keturunan mereka mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi tentara KNIL. Setelah kemerdekaan Indonesia banyak yang kembali ke Belanda (walaupun tidak semua, ada yang ke Pantai Guinea, Ghana, atau ke Afrika Barat). Dalam arsip Kementerian daerah jajahan Belanda, perekrutan mereka dilakukan dengan ujicoba. Perkembangan mereka terekam dengan baik. Banyak juga yang berakhir dengan kematian tragis. Mereka juga bangga akan seragam dan medali mereka. Di buku ini tertulis bahwa mereka direkrut berdasarkan suku mereka, yaitu mossi, grunshi (Ghana & Burkina Faso), fanti atau dagomba. Pada awal abad 19 mereka tidak menganggap diri mereka orang Afrika, tetapi berdasarkan kelompok etnis yang bertalian darah. Anda bisa lihat kenapa sampai sekarang pun perang mereka berdasarkan kesukuan bukan pada nasionalisme.

KNIL soldier, Jacobus, Recruited by Dutch in the year of 1862 with his daughter and his grandchildren

The KNIL soldiers at the Kota Radja (Aceh), 1874 (black dutch described as oppressors of the Aceh people) it also appear in  Aceh Independence Movement site(GAM / Gerakan Aceh Merdeka) in 2004

Corporal J.D.Leuw African descent, and aides NCO B. Van Weenen in 1875, awarded with honors, Willemsorde Militaire, for his services in Aceh war (Iconografisch Bereau, no. 1015017)

Beberapa veteran generasi pertama sangat rindu akan kampung halaman mereka, tetapi generasi berikutnya sangat nyaman di Hindia Belanda. Setelah menikmati kehidupan mapan mereka (generasi kedua, ketiga) berangkat ke benua baru, Eropa. Di Hindia Belanda mereka hidup sangat mapan dan dikelilingi oleh para "jongos" (pembantu). Para tentara KNIL ini bertempat tinggal selain di Hindia Belanda, juga di Amerika serikat, suriname dan tempat lainnya dimana Belanda menjajah.  

(English Translation)
At the time I read this book, with the title above, that there are African soldiers stationed in Indonesia. The book was very interesting though not yet all I read. I'll summarize a bit by bit. In the book that is written by the author in 1977 found (at college) that Ghana, many - centuries ago established economic and cultural exchanges. It is said that the kingdom was named Ashanti. They also give birth with Indonesian people. Therefore I assume is why the Dutch soccer players of Indonesian descent tend to have more African faces (for example, Patrick Kluivert). In the book it is written that in the Netherlands, those who are from African - Indonesia decents (particularly from African soldier who is married with Indonesian people) every two years held a reunion. This book is also the result of cooperation with the African Studies Centre (ASC) in Leiden (Netherlands), National Archives Jakarta, and the Bamboo Community. In 2003, the author of this book visit the museum Elmina - Java in Ghana, as an insert for the book.

Those in the Netherlands called Zwarte Hollanders / Black Dutch. Starting at the time of King William I (1836) ordered Major General Jan Verveer to go to capital of the kingdom of Ashanti (Ghana was called Elmina) (see at http://en.wikipedia.org/wiki/Ashanti_Empire), the most powerful Kingdom in Kumasi, to make an agreement with their king, Colonial troops agreement. Their prince and his nephew (Kwasi Boakye & Kwame Poku), submitted as a guarantee in the contract for the European education in the Netherlands. The Prince spent living in the Netherlands and became a mining engineer, and most likely never met with African soldiers in the Dutch East Indies.

In the year 1831 - 1872 Dutch recruited about 3085 men in West Africa (which originally was a freed from slave) to perform military service in the Dutch East Indies (mostly from Ghana & Burkina Faso). They are placed in the colonial expedition in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali and Timor. One of history also record that they are placed also in Aceh, one of the bloodiest KNIL battles . Many of their descendants follow his father work become KNIL army. After the independence of Indonesia a lot of African returned to the Netherlands (although not all, some return to Guinea Coast, Ghana, or to West Africa). In the archives of the Ministry of the Dutch colony, their recruitment was done by trial. Their development recorded properly. Many also ended with a tragic death. They are also proud of their uniforms and medals. This book is written that they were recruited based on their ethnicity (Mossi, grunshi (Ghana & Burkina Faso), Fanti or dagomba). In the early 19th century they did not consider themselves Africans, but by their ethnic groups blood - relationship. You can see why even now their war based on ethnicity rather than nationalism.

Some veterans of the first generation is longing for their homeland, but the next generation is very comfortable in the Netherlands Indies. After enjoying their well-established lives (second, third generation) went to a new continent, Europe. In the Netherlands Indies they live very and well established and surrounded by the "houseboy" (helper). This KNIL soldiers residing not just in Netherlands Indies, but also in the United States, Suriname and other places where the Dutch colonized.

Jumat, 16 Desember 2011

Differences between East Java & Central Java Temple (Perbedaan Candi Jawa Timur dan Jawa Tengah)

Central Java temple on the left and East Java temple on the right 

Naturalistic relief on Prambanan Temple in Central Java (Ramayana Story)

East java relief ( Sudamala story, Surowono Temple ) 


  • Central Java (Jawa Tengah)
  1. The shape of the building is bulk (bentuk bangunannya tambun)
  2. The roof is tiered ( Atapnya Berundak - undak / berjenjang )
  3. Peak-shaped stupa or ratna (Puncaknya berbentuk stupa atau ratna / see at http://en.wikipedia.org/wiki/Stupa)
  4. Wicket doors and niches decorated with kala makara. kala makara is a type of decoration that frames the doorways and niches of temples in Southeast Asia. Two naga (dragon) bodies form the sides of the arch, whose ends rest upon outward-turning makara heads. The top of the arch, from which the serpent bodies issue, is a kala. The arch symbolizes a rainbow, which connects the mundane world of the earth to the divine world of the sky (Gawang pintu dan relung dihiasi dengan kala makara. Kala makara adalah suatu jenis dekorasi yang membingkai pintu dan relung candi di Asia Tenggara. Dua Tubuh naga membentuk sisi-sisi dari lengkungan, yang bersandar pada kepala makara. Bagian atas lengkungan, dimana badan ular itu keluar, dan itu adalah kala. lengkungan melambangkan pelangi, yang menghubungkan dunia fana bumi ke dunia ilahi dari langit)
  5. High relief, and the paintings is naturalistic (Reliefnya timbul agak tinggi, dan lukisannya naturalistis)
  6. The location of the temple in the middle of the yard (Letak candi di tengah halaman)
  7. Most of the temple face east (kebanyakan candi menghadap timur)
  8. Most are made from andesite stone (kebanyakan dibuat dari batu andesite)


  • East Java (Jawa Timur)

  1. Slender building form (Bentuk bangunan ramping)
  2. The roof is a blend levels (Atapnya merupakan perpaduan tingkatan)
  3. Cube-shaped peak (Puncaknya berbentuk kubus)
  4. There is no makara, and the doors and niches is sculpted with kala on the threshold (Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang batasnya saja yang diberi kepala kala)  
  5. little emerge reliefs, and the paintings is symbolic, shadow puppets resembling (relief kecil timbul sedikit, dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit)
  6. The location of the temple on the back of yard (Letak candi di belakang halaman)
  7. Most of the temple facing west (Kebanyakan candi  menghadap barat)
  8. Most of the temple are made from brick (Kebanyakan candi dibuat dari bata)
(Indonesia Culture History 2, Dr. R. Soekmono, Kanisius)

Kamis, 15 Desember 2011

Ancient historical period: Indianized kingdoms (800-1343 CE) II


After Makutawangsawardhana is Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa. Dharmawangsa managed to subdue Srivijaya.  In the leadership of Dharmawangsa book of the Mahabharata translate it to ancient java language that consisting of 18 parwa, but unfortunately now there are only 9 parwa, including Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa, etc, and also Siwasasana, translate it to ancient java language (the book of law in the year of 991) Since then the king of Srivijaya is Sri Sudamani Warmadewa, and it is unknown whether have any familial relationship with Warmadewa. This is not impossible, because Dharmawangsa has a major influence in Bali, in many inscriptions said that Mahendradatta name always takes precedence over the name of the King Udayana. At first inscription written in ancient Balinese which got the influence from the ancient Javanese language, and after that, it is written by the ancient Javanese language entirely. Therefore the language of Java and Bali have kinship (as well as the modern kingdom relationship), especially the subtle language (Krama inggil), In 1016 the kingdom Dharmawangsa, which is written on the inscription of Calcutta, destroyed. Airlangga managed to escape, and will retake his power. But after he have a daughter and two sons. kingdom split into two, because the seizure of power by his two son (the daughter who was appointed as Queen, reject it). After that power struggles between their families, and kingdoms colonized by majapahit, and their culture influenced by Majapahit Kingdom 
(see at http://en.wikipedia.org/wiki/Majapahit)


Mahendradatta died in the year 1010, and was buried in Burwan (Kutri, near with Gianyar, Bali) Mahendradatta firstborn, Airlangga, was married to his own nephew in eastern Java, and the name of his youngest son is the Anak Wungsu, with the royal title, Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa. But unfortunately, the Son Wungsu not have children, and Warmadewa family has no descendants in Bali,and their families out in Bali, he was buried at Mount Kawi (Tampaksiring). (Indonesian Cultural History 2, Dr. R. Soekmono, Kanisius)

Next Time I will tell you about differences between temple within East Java and Central Java Bali.....

Selasa, 13 Desember 2011

Bali & Java

Ancient historical period: Indianized kingdoms I (800-1343 CE)



Before majapahit stand, when Srivijaya rule, a time when families sanjaya has won the power struggle, his descendants, King Balitung, with his Royal title, Sri Iswarakesawotsawatungga, reigned from 898-910. some of the inscriptions found in Central Java and East Java, so it can be concluded that he was the first king who ruled. written there, that Rakryan Kanuruhan, one high-ranking officials under the authority of the king. In Balitung inscriptions (898-907), who found in eastern Java, mentions the existence of an attack to Bali. It written also that they ask for protection from family sanjaya. King after Balitung is, Daksha (910 -919), with the rank of Rakryan Mahamantri I Hino (position directly under the king), then the next is Tulodong (919-924), with the Royal title Rakai Tulodong Sri Layang Dyah Sajanasanmatanuragatunggadewa, and Wawa (924-929) with his Royal  title of Sri Wijayalokanamottungga. After that (929), Sindok of Isanawamsa (929-947) came to power, and history ofsanjaya, and power in central Java has disappeared, the possibility of marriage between them, but the transference of power from central to eastern Java is still a mystery. there is an argument this happens because there are threats of Srivijaya. Sindok ruled along with his wife, Sri Prameswari Sri Wardhani pu Kabi. Including his successor is the Great Airlangga, written in the inscription, that stored at the Indian museum (calcutta). Granddaughter of Sindok, from Makutawangsawardhana, named by Mahendradatta or Gunapriyadharmapatni, married to King Udayana of Bali of Warmadewa family (History of Indonesian Culture 2, Dr. R. Soekmono, Kanisius)




The ancient historical period is defined by the appearance of the first written records in Bali, in the form of clay pallets with Buddhist inscriptions. These Buddhist inscriptions, found in small clay stupa figurines (called "stupikas") are the first known written inscriptions in Bali and date from around the 8th century CE.Such stupikas have been found in the regency of Gianyar, in the villages of Pejeng, Tatiapi and Blahbatuh.
This period is generally closely associated with the arrival and expansion of Buddhism and Hinduism in the island of Bali. The Belanjong pillar ("Prasasti Blanjong") in southern Sanur was inscribed in 914 with the mention of the reign of the Balinese king Sri Kesari. It is written in both the Indian Sanskritlanguage and Old Balinese language, using two scripts, the Nagari script and the Old Balinese script (which is used to write both Balinese and Sanskrit).The pillar testifies to the connections of Bali with the Sanjaya Dynasty in Central Java. It is dated according to the Indian Shaka calendar. According to the inscription, Sri Kesari was a Buddhist king of the Sailendra Dynasty leading a military expedition, to establish a Mahayana Buddhist government in Bali.
The stone temple of Goa Gajah was made around the same period, and shows a combination of Buddhist and Hindu (Shivaite) iconography.
Inter-marriages between Java and Bali royalty also occurred, as when king Udayana Warmadewa of the Warmadewa dynasty of Bali married a Javanese princess, sister of the Emperor of Java Dharmawangsa. Their son became the great ruler of East Java Airlangga, who ruled on both Java and Bali. In the 12th century, descendant of Airlangga are also known to have ruled over Bali, such as Jayasakti (1146–50) and Jayapangus (1178–81).
The island of Java again started to encroach significantly on Bali with the invasion of Singarasi king Kertanegara in 1284. Kertanegara was then toppled by Raden Wijaya, founder of the Majapahit Empire.
Contacts with China were also important during this period. Chinese coins, called Kepeng were in use in Bali from the 7th century. The traditional Barong is also thought to be derived from the Chinese dragon. In the 12th century, king Jayapangus of Bali is known to have married a Chinese princess (http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Bali)